Tuesday, December 06, 2005

Biasa

"Ibu, tolong kau pegang tangan ini, dingin sekali rasanya."
"Iya nak, dingin sekali tanganmu. Apa kau sakit?"
"Entahlah ibu. Rasanya sih enggak."
"Tapi kenapa tanganmu dingin nak?"
"Entahlah."
"Apa dadamu berdebar?"
"Sepertinya iya. Lebih cepat detakannya ku rasa."
"Apa yang kau rasa nak?"
"Entahlah ibu. Aku hanya merasa tidak nyaman."
"Adakah yang kau rasakan sakit dibadanmu nak?"
"Semua seperti biasa bu. Tapi memang tidak nyaman."
"Kalau begitu, ada yang bikin kamu tidak nyaman nak."
"Bisa jadi bu.."

Tangan ini memang dingin. Dada ini memang seperti
berdetak lebih kencang. Leher ini juga terasa lebih hangat.
Aku pun gak tau apa yang terjadi. Semua seperti biasa,
tidak ada yang kurasa sakit. Tapi kenapa aku merasa
ada sesuatu yang bikin gak nyaman, ada sesuatu yang
mengganjal dalam hati. Ada sesuatu dalam otak yang
tidak bisa aku keluarkan. Ada sesuatu dalam fikiran yang
aku sendiri gak bisa mengerti. Ada sesuatu.

"Ibu, kenapa semua orang sepertinya berubah?"
"Berubah apanya nak?"
"Entahlah ibu. Semua seperti berubah. Tidak seperti
yang biasa terlihat. Semua bergerak."
"Adakah kau rasa sakit di kepala mu nak?"
"Tidak ibu. Tidak ada rasa sakit di kepala ini."
"Lalu apa yang membuat mu berfikir semua berubah?"
"Entahlah ibu. Mereka seperti jauh, makin menjauh,
dan semakin menjauh dari titik ini."
"Semua orang pasti berubah nak. Tak terkecuali
dirimu kelak. Begitu pula titik ini."
"Benarkah itu ibu?"
"Tepat sekali anakku! Semua pasti berubah.
Tidak ada yang tidak. Kecuali perubahan itu sendiri."
"Lalu kapankah saya berubah ibu?"
"Entahlah nak. Ibu juga tidak mengerti."
"Lalu kenapa mereka berubah sekarang ibu?"
"Ibu juga tidak tau nak. Tidak ada yang tau. Tidak
terkecuali orang yang bersangkutan."
"Akankah tiba waktu untuk ku ibu?"
"Pasti nak. Pasti itu."
"Tapi kapan? Saya tidak sabar menunggu. Mereka
sudah meninggalkan saya ibu. Apa yang bisa saya
perbuat disini. Titik ini pun semakin menjemukan.
Dia seperti menolak kehadiran saya lagi. Mereka
berlari. Saya diam. Begitu pula titik ini tidak ingin
tetap diam. Saya bingung harus bagaimana ibu."
"Diamlah nak. Ikuti masa mu. Ikuti arus membawa mu.
Ikuti arah angin berhembus. Ikutlah bersama mereka."
"Tapi kemana mereka akan membawa ku ibu? Aku
takut tersesat. Aku takut salah melangkah."
"Ibu juga tidak paham kemana mereka akan membawa
dirimu nak. Tapi percayalah, kamu pasti bisa. Kamu
pasti bisa kemana pun angin membawamu. Kamu
pasti bisa."
"Mungkinkah itu ibu?"
"Sangat mungkin anak ku!"
"Lalu bagaimana dengan ibu. Akankah ibu mengikuti ku?"
"Tentu tidak sayang. Ibu akan tetap disini. Dihatimu.
Dibayangmu. Dikasimu. Dinafasmu. Ibu tidak akan pergi.
Apapun yang terjadi padamu."
"Benarkah itu ibu?"
"Benar sekali anakku. Tidak ada yang bisa memisahkan kita.
Tidak ada yang bisa menjauhkan kita. Kita tetap satu."
"Terima kasih ibu. Tanpamu aku tiada arti. Kamulah
duniaku. Kamulah bintangku. Kamulah jagat rayaku."
"Begitu juga dirimu nak. Kamu segalanya untuk ibu."

Perlahan tapi pasti, tangan ini mulai menghangat.
Dada ini perlahan menurunkan debarnya. Leher ini
pun menurunkan kadar hangatnya. Semua kembali
menjadi biasa. Ya biasa.